Minggu, 12 Februari 2012

Dinamika Pembangunan Wilayah


ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN KOTA MALANG
BERDASARKAN PENDEKATAN SHIFT SHARE
PERIODE TAHUN 2005 – 2009

I WAYAN SUSANTO, S.Hut
Mahasiswa Program Magister PSLP Universitas Brawijaya

RINGKASAN
Pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan perubahan struktur perekonomian. Transformasi struktural merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor primer ke sektor sekunder. Perubahan struktur atau transformasi ekonomi dari tradisional menjadi modern secara umum dapat dilihat sebagai suatu perubahan yang berkaitan dengan komposisi pergeseran kontribusi sektor lapangan usaha terhadap PDRB suatu wilayah.
Tujuan dari tulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut : 1) Untuk menganalisis struktur ekonomi daerah berdasarkan pendekatan shift share dilihat dari kontribusi PDRB di Kota Malang tahun 2005-2009, 2) Untuk menganalisis perubahan dan pergeseran sektor perekonomian wilayah Kota Malang tahun 2005-2009, 3) Untuk menentukan sektor-sektor unggulan perekonomian wilayah Kota Malang. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Malang.
Untuk melihat struktur perekonomian di Kota Malang periode tahun 2005-2009 digunakan alat analisis shift share. Hasil dari analisis shift share menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang paling besar dalam memberikan konstribusi terhadap pertumbuhan PDRB di Kota Malang yakni sebesar Rp 6,652,523.78 (35,66 %) diikuti sektor industri pengolahan sebesar Rp 6,319,409.35 (33,87 %) dan paling rendah konstribusinya terhadap PDRB Kota Malang adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp 2,760.11 (0,01 %). ini berarti telah terjadi perubahan struktur perekonomian dari perekonomian tradisional menjadi perekonomian modern di Kota Malang dengan keunggulan kompetitif pada sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Kata Kunci : struktur perekonomian, Kota Malang, PDRB, dan shift share


PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi nasional sebagai upaya untuk membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk mewujudkan salah satu tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum, seperti yang tersurat pada alenia IV Pembukaan UUD 1945, Pembangunan sebagai salah satu cermin pengamalan Pancasila terutama dijiwai sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dalam GBHN 1998 (Poin F : Penjelasan ke-10) disebutkan bahwa arah dan kebijakan pembangunan daerah adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peranserta aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu penting dan sangat krusial untuk mewujudkan tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah sehingga keadilan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan merata di seluruh tanah air.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas untuk mengatur dan mengelola berbagai urusan penyelenggaran pemerintah bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan. Sedangkan dalam hal pembiayaan dan keuangan daerah diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah tidak hanya kesiapan aparat pemerintah saja, tetapi juga masyarakat untuk mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah dengan pemanfaatan sumber-sumber daya secara optimal. Kedua Undang-Undang tersebut menuntut pemerintah daerah untuk melaksanakan desentralisasi dan memacu pertumbuhan ekonomi guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di mana tujuan penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Namun, pembangunan daerah harus sesuai dengan kondisi potensi serta aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. Apabila pelaksanaan prioritas pembangunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka pemanfaatan sumber daya yang ada akan menjadi kurang optimal. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan lambatnya proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan.
Menurut Todaro (1998), pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Transformasi struktural merupakan prasyarat dari peningkatan dan kesinambungan bertumbuhan serta penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Proses perubahan struktur perekonomian ditandai dengan: (1) menurunnya pangsa sektor primer (pertanian), (2) meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri), dan (3) pangsa sektor tersier (jasa) juga memberikan kontribusi yang meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 1998).
Oleh karena itu, pembangunan di negara-negara berkembang seperti Indonesia lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi dapat mendukung pencapaian tujuan atau mendorong perubahan-perubahan atau pembaharuan bidang kehidupan lainnya. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Siagian (1984:128) bahwa keterbelakangan utama yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang adalah di bidang ekonomi. Oleh karena itu tidak mengherankan, bahkan dapat dikatakan merupakan tuntutan sejarah apabila pembangunan ekonomi mendapat perhatian utama.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat diambil permasalahan dalam tulisan ini, sebagai berikut : 1) Bagaimana struktur ekonomi daerah berdasarkan pendekatan shift share dilihat dari kontribusi PDRB di Kota Malang tahun 2005-2009?; 2) Bagaimana perubahan dan pergeseran sektor perekonomian wilayah Kota Malang tahun 2005-2009?; 3) Sektor-sektor apakah yang menjadi sektor unggulan perekonomian wilayah Kota Malang?
Tujuan dari tulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut : 1) Untuk menganalisis struktur ekonomi daerah berdasarkan pendekatan shift share dilihat dari kontribusi PDRB di Kota Malang tahun 2005-2009, 2) Untuk menganalisis perubahan dan pergeseran sektor perekonomian wilayah Kota Malang tahun 2005-2009, 3) Untuk menentukan sektor-sektor unggulan perekonomian wilayah Kota Malang.
DESKRIPSI WILAYAH KOTA MALANG
  1. Letak Geografis
Kota Malang adalah kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Kota Surabaya. Di sisi lain, Kota Malang merupakan kota pendidikan dan salah satu kota tujuan wisata di Jawa Timur karena potensi alam dan iklim yang dimiliki. Letaknya yang berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Malang secara astronomis terletak pada posisi 112.06o – 112.07o Bujur Timur dan 7.06o – 8.02oLintang selatan. Luas Wilayah Kota Malang sebesar 110,06 km2 berada pada ketinggian 440 – 667 meter di atas permukaan laut (mdpl), yang dilalui tiga sungai besar yaitu Sungai Brantas, Amprong dan Bango. Wilayah Kota Malang terbagi dalam lima kecamatan yaitu Kecamatan Kedungkandang, Sukun, Klojen, Blimbing, dan Lowokwaru. Secara Administrasi, wilayah Kota Malang berbatasan dengan :
  • Sebelah Utara : Kecamatan Singosari dan Kecamatan, Karangploso Kabupaten Malang
  • Sebelah Timur : Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang
  • Sebelah Selatan : Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang
  • Sebelah Barat : Kecamatan Wagir
Kondisi iklim Kota Malang selama tahun 2009 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 23,1oC sampai 25,0oC. Sedangkan suhu maksimum mencapai 30,2oC dan suhu minimum 17,2oC. Rata-rata kelembaban udara di Kota Malang berkisar 83% - 87%, dengan kelembaban maksimum 100% dan kelembaban minimum 45%. Oleh karena itu, Kota Malang memiliki potensi wilayah yang cukup besar, karena :
  1. Merupakan dataran tinggi tengah yang dapat berfungsi sebagai distributor barang dan jasa
  2. Udara yang sejuk kering memungkinkan untuk dijadikan tempat peristirahatan dan berwisata
  3. Keadaan tanah yang subur dapat mendukung pengembangan sektor pertanian. Namun, tekanan pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk menyebabkan terjadinya pergeseran sektor pertanian ke sector lainnya akibat konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan dan perdagangan.
  4. Dapat menopang dikembangkannya usaha industri kecil, industri menengah, dan industri besar
  1. Penduduk
Menurut hasil proyeksi penduduk pada tahun 2009, penduduk Kota Malang sebanyak 820.857 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 406.755 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 414.102 jiwa. Dengan demikian, rasio jenis kelamin penduduk Kota Malang sebesar 98,23. Ini artinya bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki-laki. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 pada periode 1990-2000, rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota Malang setiap tahunnya adalah 0,86 %.
Dilihat dari penyebarannya, penduduk terbanyak di Kecamatan Lowokwaru sebesar 182.794 jiwa, kemudian diiukti Kecamatan Sukun (175.772 jiwa), Kecamatan Blimbing (171.935 jiwa), Kecamatan Kedungkandang (162.941 jiwa) dan Kecamatan Klojen (127.415 jiwa). Wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Klojen yaitu mencapai 14.430 jiwa per Km2, sedangkan terendah di wilayah Kecamatan Kedungkandang sebesar 4.085 jiwa per Km2.
  1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan untuk seluruh wilayah usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate cost).
Pertumbuhan ekonomi daerah yang tercantum dalam PDRB terbagi dalam sembilan sektor, dari masing-masing sektor tersebut menunjukkan sumbangannya terhadap perekonomian di Kota Malang. Adapun sembilan sektor lapangan usaha tertera dalam data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Malang dan Propinsi Jawa Timur sebagai wilayah pembanding, sebagai berikut :

Tabel 1 : Produk Domestik Regional Bruto Kota Malang dan Jawa Timur Tahun 2005 dan 2009
Sektor/Lapangan Usaha
PDRB Kota Malang
PDRB Jawa Timur
2005
2009
2005
2009**
Pertanian
47,037.90
108,559.58
69,536,009.02
112,163,509.09
Pertambangan
dan Penggalian
7,006.05
9,766.16
8,103,672.30
14,834,942.32
Industri
Pengolahan
2,854,358.43
9,173,767.78
120,974,195.01
191,878,803.44
Listrik, Gas
dan Air Bersih
43,008.74
95,172.09
7,631,896.04
12,463,640.10
Bangunan
234,485.96
834,449.38
14,540,117.46
23,292,444.27
Perdagangan,
Hotel & Restoran
2,633,485.96
9,286,009.72
109,587,965.52
201,415,137.48

Angkutan dan Komunikasi
605,030.90
1,271,718.17
22,309,962.36
38,932,217.82
Keuangan, Persewaan &
Jasa Perusahaan
689,285.71
2,790,682.99
18,264,725.93
32,559,698.60
Jasa-Jasa
952,718.07
3,153,023.91
32,443,807.12
56,690,541.12
Total PDRB
8,066,417.72
26,723,149.78
403,392,350.76
684,230,934.24
Perubahan
Total PDRB
18,656,732.06

280,838,583.48

Sumber : BPS Kota Malang (2005;2010), Jawa Timur dalam angka 2005/20010 dan Kota Malang dalam angka 2005/2010
Ket. : ** Angka Sementara

Dalam analisis perekonomian daerah perlu diperhatikan karakteristik perkembangan tiap sektor lapangan usaha. Karakteristik sektor lapangan usaha daerah nampak dari potensi dan perubahan struktur perekonomian (Blakeley, 1994 dalam Supartono, 2003). Karena pada prinsipnya proses pembangunan ekonomi tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi memerlukan berbagai usaha yang konsisten dari berbagai pihak untuk memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi umat manusia khususnya masyarakat Kota Malang.
Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kemakmuran suatu daerah adalah data mengenai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga yang berlaku ataupun atas dasar harga konstan. Suatu masyarakat dipandang mengalami suatu pertumbuhan dan kemakmuran apabila pendapatan perkapita masyarakat menurut harga atau pendapatan terus menerus bertambah.
TINJAUAN PUSTAKA
  1. Pembangunan Ekonomi Regional
Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping pembangunan sosial. Pertumbuhan ekonomi adalah proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output per kapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkanden gan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya baru terjadi jika jumlah barang dan jasa secara fisik yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah dapat ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan pendapatan masyarakat secara keseluruhan sebagai cerminan kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang tercipta di suatu wilayah.
Todaro dalam Sirojuzilam (2008:16), mendefinisikan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat multidimensional, yang melibatkan kepada perubahan besar, baik terhadap perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi.
Menurut Adisasmita (2008:13), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumber daya alam, tenaga kerja dan sumber daya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan (kewiraswastaan), kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas.
  1. Pertumbuhan Ekonomi Regional
Teori pertumbuhan ekonomi wilayah menganalisis suatu wilayah sebagai suatu sistem ekonomi terbuka yang berhubungan dengan wilayah-wilayah lain melalui arus perpindahan faktor-faktor produksi dan pertukaran komoditas. Pembangunan dalam suatu wilayah akan mempengaruhi pertumbuhan wilayah lain dalam bentuk permintaan sektor untuk wilayah lain yang akan mendorong pembangunan wilayah tersebut atau suatu pembangunan ekonomi dari wilayah lain akan mengurangi tingkat kegiatan ekonomi di suatu wilayah serta interrelasi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dinilai sebagai dampak kebijaksanaan pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan yang terjadi dan sebagai indikator penting bagi daerah untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan (Sirojuzilam, 2008:18).
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah peningkatan volume variabel ekonomi dari suatu sub sistem spasial suatu bangsa atau negara dan juga dapat diartikan sebagai peningkatan kemakmuran suatu wilayah. Pertumbuhan yang terjadi dapat ditinjau dari peningkatan produksi sejumlah komoditas yang diperoleh suatu wilayah. Menurut Glasson (1977:86) pertumbuhan regional dapat terjadi sebagai akibat dari penentu-penentu endogen ataupun eksogen, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam daerah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar daerah, atau kombinasi dari keduanya. Penentu endogen, meliputi distribusi faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, dan modal sedangkan penentu eksogen adalah tingkat permintaan dari daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut.
Perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat dalam era otonomi daerah. Hal ini cukup logis, karena dalam era otonomi daerah masing-masing daerah berlomba-lomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya, guna meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Oleh karena itu, pembahasan tentang struktur dan faktor penentu pertumbuhan daerah akan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah dalam menentukan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Sjafrizal, 2008:86).
Perubahan sistem pemerintahan menimbulkan perubahan yang cukup signifikan dalam pengelolaan pembangunan daerah. Pola pembangunan daerah dan sistem perencanaan yang selama ini cenderung seragam telah berubah menjadi lebih bervariasi tergantung pada potensi dan permasalahan pokok yang dihadapi di daerah. Penetapan kebijaksanaan yang sebelumnya hanya sebagai pendukung kebijaksanaan nasional telah mengalami perubahan sesuai dengan aspirasi yang berkembang di daerah. Kondisi ini juga memicu persaingan antara daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.
Menurut Richardson (2001:35) perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan perekonomian nasional dan analisis pertumbuhan daerah adalah bahwa yang dititikberatkan dalam analisis tersebut belakangan adalah perpindahan faktor (factors movement). Kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi regional. Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah akan lebih cepat apabila memiliki keuntungan absolute kaya akan sumber daya alam dan memiliki keuntungan komparatif apabila daerah tersebut lebih efisien dari daerah lain dalam melakukan kegiatan produksi dan perdagangan (Sirojuzilam, 2008:26).
Pembangunan dengan pendekatan sektoral mengkaji pembangunan berdasarkan kegiatan usaha yang dikelompokkan menurut jenisnya ke dalam sektor dan sub sektor. Sektor-sektor tersebut adalah sektor pertanian, pertambangan, konstruksi (bangunan), perindustrian, perdagangan, perhubungan, keuangan dan perbankan, dan jasa. Pemerintah daerah harus mengetahui dan dapat menentukan penyebab, tingkat pertumbuhan dan stabilitas dari perekonomian wilayahnya. Identifikasi sektor dan sub sektor yang dapat menunjukkan keunggulan komparatif daerah merupakan tugas utama pemerintah daerah.
  1. Ukuran Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Ukuran-ukuran mengenai keterkaitan ekonomi pada dasarnya menggambarkan hubungan antara perekonomian daerah dengan lingkungan sekitarnya. Analisis shift share merupakan teknik yang sangat berguna dalam menganalisis perubahan stuktur ekonomi daerah dibanding perekonomian nasional. Analisis ini memberikan data tentang kinerja perekonomian dalam tiga bidang yang berhubungan satu sama lain yaitu:
  1. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan cara menganalisis perubahan pengerjaan agregat secara sektoral dibandingkan dengan perubahan sektor yang sama diperekonomian yang dijadikan acuan.
  2. Pergeser proposional mengukur perubahan relatif, pertumbuhan atau penurunan, pada daerah dibandingkan dengan perekonomian yang lebih besar dijadikan acuan. Pengukuran ini memungkinkan kita untuk mengetahui apakah perekonomian daerah terkonsentrasi pada industri-industri lebih cepat ketimbang perekonomian yang dijadikan acuan.
  3. Pergeseran diferensial membantu kita dalam menentukan seberapa jauh daya saing industri daerah (lokal) dengan perekonomian yang dijadikan acuan. Oleh karena itu, jika pergeseran diferensial dari suatu industri adalah positif, maka industri tersebut lebih tinggi daya saingnya ketimbang industri yang sama pada perekonomian yang dijadikan acuan. (Lincolin Arsyad,1999).
  1. Analisis Shift Share
Analisis Shift Share adalah analisis yang bertujuan untuk menentukan kinerja atau produktivitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkannya dengan daerah yang lebih besar (regional atau nasional). Analisis shift share digunakan pula untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi wilayah sehingga dapat diidentifikasi penyebab-penyebab pertumbuhan ekonomi sekaligus potensi pengembangannya di masa akan datang. Hasil analisis shift share akan menggambarkan kinerja sektor-sektor dalam PDRB Kota Malang dibandingkan Provinsi Jawa Timur.
Analisis Shift Share membagi pertumbuhan wilayah dalam tiga komponen. Pertama, komponen Share yang menjelaskan bahwa pertumbuhan wilayah dibandingkan dengan pertumbuhan nasional. Kedua, komponen mix menjelaskan relatif kecepatan pertumbuhan wilayah dibanding nasional. Ketiga komponen competitive, menjelaskan relatif keunggulan kompetitif suatu sektor dalam wilayah dibanding secara nasional. Sektor yang memiliki keunggulan kompetitif berarti di dalamnya memiliki lingkungan yang kondusif bagi perkembangan sektor yang bersangkutan (Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri, 2001:52)
Menurut Prasetyo Soepomo (1993) bentuk umum persamaan analisis shift share adalah : Dij = Nij + Mij + Cij. Dimana Dij adalah pengaruh total dari pengaruh pertumbuhan nasional (Nij), bauran industry (Mij) dan keunggulan kompetitif (Cij).
Data yang digunakan dalam analisis shift share ini adalah PDRB Kota Malang dan Jawa Timur tahun 2005-2009 menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000. Penggunaan data harga konstan dengan tahun dasar yang sama agar bobotnya (nilai riilnya) bisa sama dan perbandingan menjadi valid (Tarigan, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan analisis shift share PDRB Kota Malang tahun 2005-2009 dicantumkan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2. pertumbuhan komponen mix Kota Malang selama periode tahun 2005-2009 ada yang bernilai negatif dan positif. Nilai mix positif, berarti perekonomian Kota Malang berspesialisasi pada sektor yang sama yang tumbuh cepat dibanding perekonomian Provinsi Jawa Timur. Sebaliknya apabila nilai mix negatif, berarti perekonomian Kota Malang berspesialisasi pada sektor yang sama dan tumbuh lambat dibanding perekonomian Provinsi Jawa Timur.

Tabel 2. Hasil Perhitungan Analisis Shift Share Kota Malang Tahun 2005-2009 pada masing-masing sector ekonomi
Sektor ekonomi
Share (Nij)
Mix (Mij)
Competitif (Cij)
Total (Dij)
1
2
3
4
5
Pertanian
32,747.42
-3,911.88
32,686.14
61,521.68
Pertambangan dan Penggalian
4,877.56
941.98
-3,059.43
2,760.11
Industri Pengolahan
1,987,181.90
-314,203.90
4,646,431.35
6,319,409.35
Listrik, Gas dan Air Bersih
29,942.35
-2,713.57
24,934.57
52,163.35
Bangunan
163,247.28
-22,100.02
458,816.16
599,963.42
Perdagangan, Hotel & Restoran
1,833,412.22
373,267.74
4,445,843.79
6,652,523.76
Angkutan dan Komunikasi
421,217.76
29,566.43
215,903.09
666,687.27

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
479,875.29
59,597.37
1,561,924.61
2,101,397.28
Jasa-Jasa
663,274.83
48,734.75
1,488,296.26
2,200,305.84
Total PDRB
5,615,776.61
169,178.91
12,871,776.55
18,656,732.06
Sumber : BPS Kota Malang (2005;2010), diolah 2011


Hasil dari analisis Shift Share yang disajikan pada Tabel 2, kolom 2 yakni pada komponen share semua sektor lapangan usaha memberikan efek positif terhadap kontribusi PDRB Propinsi Jawa Timur. Pada tingkat Propinsi Jawa Timur, jumlah PDRB tahun 2009 naik sebesar 69,62 % dibanding tahun 2005. Dengan demikian, total PDRB Propinsi Jawa Timur sebesar Rp 5,615,776.61 merupakan tambahan kenaikan 69,62 % dari total PDRB Kota Malang pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp 8,066,417.72.
Dalam table analisis shift share kolom 5, terlihat bahwa pertumbuhan aktual PDRB Kota Malang cendrung lebih baik daripada Propinsi Jawa Timur. Total Pertumbuhan PDRB Kota Malang sebesar Rp 18,656,732.06 lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Timur sebesar Rp 5,615,776.61 atau mengalami surplus sebesar Rp 13,040,955.45. Secara keseluruhan kesembilan sektor lapangan usaha di Kota Malang menunjukan jumlah yang positif ini berarti bahwa pertumbuhan kesembilan sektor tersebut relatif lebih cepat dibanding pertumbuhan PDRB sektor lapangan usaha yang sama ditingkat Propinsi Jawa Timur. Sektor lapangan usaha yang memberikan konstribusi paling besar terhadap PDRB Kota Malang yakni sektor perdagangan, Hotel dan restoran disusul sektor industri pengolahan walaupun secara makro sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat dibanding Propinsi Jawa Timur. Sedangkan sektor yang memberikan konstribusi paling kecil yakni sektor pertambangan dan penggalian karena sektor ini hanya didukung oleh tambang galian C yang terbatas jumlahnya di Kota Malang.
Pengaruh komponen mix (bauran industri) disajikan pada kolom 3, Tabel 2, hasil analisis shift share menunjukan bahwa sektor pertanian, sektor industry pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor bangunan mempunyai nilai (efek) negatif yang berarti keempat sektor tersebut di Kota Malang pertumbuhannya lebih lambat (rendah) dibandingkan pertumbuhan sektor yang sama ditingkat Propinsi Jawa Timur. Sektor yang mengalami pertumbuhan paling lambat yakni sektor industri pengolahan yang mengalami penurunan sebesar Rp 314,203.90 disusul sektor bangunan mengalami penurunan sebesar Rp 22,100.02.
Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor jasa-jasa, sektor angkutan dan komunikasi dan sektor pertambangan dan penggalian mempunyai nilai (efek) positif yang berarti bahwa kelima sektor tersebut mengalami pertumbuhan lebih cepat (tinggi) dibanding pertumbuhan sektor yang sama ditingkat Propinsi Jawa Timur. Sektor yang mengalami pertumbuhan paling cepat yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mengalami peningkatan dalam outputnya sebesar Rp 373,267.74 disusul sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp 59,597.37. Hal ini akibat dari Kota Malang sebagai salah satu tujuan wisata alam maupun kuliner di Propinsi Jawa Timur dan sebagai kota tempat pendidikan dengan kondisi alam, iklim dan sosial budaya masyarakat yang mendukung.
Secara keseluruhan total komponen mix bernilai positif yakni sebesar Rp 169,178.91. Hal ini menunjukan bahwa kecepatan pertumbuhan perekonomian Kota Malang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi ditingkat Propinsi Jawa Timur.
Hasil dari analisis shift share sebagaimana Tabel 2, kolom 4 di atas menunjukkan bahwa hampir semua sektor lapangan usaha dapat menjadi andalan, kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami penurunan output sebesar Rp 3,059.43. Sektor lapangan usaha yang menjadi andalan utama Kota Malang adalah industri pengolahan, memiliki kontribusi yang paling tinggi bagi perekonomian di Kota Malang dengan peningkatan output sebesar Rp 4,646,431.35 walaupun secara makro sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat dibanding Propinsi Jawa Timur, disusul urutan kedua sektor perdagangan, hotel dan Restoran dengan kontribusi sebesar Rp 4,445,843.79 urutan ketiga sector keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan kontribusi sebesar Rp 1,561,924.61 sektor jasa-jasa diurutan keempat dengan kontribusi sebesar Rp 1,488,296.26 disusul sektor bangunan sebesar Rp 458,816.16 namun sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat dibanding Propinsi Jawa Timur, selanjutnya sektor angkutan dan komunikasi sebesar Rp 215,903.09 disusul sektor pertanian diurutan ketujuh dengan kontribusi sebesar Rp 32,686.14 namun sektor tersebut juga mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat dibanding Propinsi Jawa Timur dan terakhir sektor Listrik, Gas dan air bersih yang memberikan kontribusi sebesar Rp 24,934.57. Secara total, Kota Malang memberikan lingkungan yang kondusif bagi aktivitas perekonomian dibandingkan Propinsi Jawa Timur. Pengaruh keunggulan kompetitif ini menyebabkan output PDRB di Kota Malang meningkat menjadi Rp 12,871,776.55.
Sektor lapangan usaha yang memiliki angka competitif yang positif menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif suatu sektor menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut akan lebih berkembang dibandingkan dengan sektor lain, walaupun secara makro sektor-sektor tersebut mengalami tren yang menurun pada level propinsi, sektor yang memiliki keunggulan komparatif akan relatif dapat bertahan. Untuk itu, sektor-sektor dengan keunggulan komparatif dapat menjadi sektor-sektor yang diandalkan bagi perekonomian suatu wilayah.
Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut kreatif dalam mengembangkan perekonomian, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Investasi akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan dapat menimbulkan multiplier effect terhadap sektor-sektor lainnya. Untuk itu, perlu didukung dengan infrastruktur yang memadai seperti pembangunan dan perbaikan jalan, yang di Kota Malang ini terkesan belum optimal untuk mendukung berbagai sektor perekonomian serta serta membuat regulasi atau kebijakan yang mampu menjamin kepastian berusaha (investasi) yang kondusif dan tidak berefek pada ekonomi biaya tinggi.
Pembangunan berkelanjutan yang diperbincangkan oleh banyak kalangan, perlu menjadi bagian pertimbangan dalam rumusan perencanaan pembangunan wilayah sehingga tidak berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan PDRB sebagai ukurannya. Setidaknya upaya pendekatan pembangunan wilayah membahas hal yang antara lain berkaitan dengan: 1) upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung ekosistem; 2) upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan; 3) upaya meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang; 4) upaya mempertemukan kebutuhan-kebutuhan manusia secara antar generasi; 5) upaya perencanaan pembangunan wilayah melalui pendekatan wilayah dan kerjasama antar daerah.
Agenda 21 Indonesia memuat bahwa dalam upaya mengelola agar pembangunan ekonomi daerah berlangsung secara berkelanjutan, dibutuhkan serangkaian strategi integrasi lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi. Strategi integrasi tersebut meliputi: 1) pengembangan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yakni ekonomi yang tetap memelihara basis sumberdaya alam yang digunakan. Tata ekonomi seperti ini dapat terus berkembang dengan penyesuaian-penyesuaian, dan dengan menyempurnakan pengetahuan, organisasi, efisiensi teknik, dan kebijakan; 2) pengembangan pendekatan pencegahan pencemaran; 3) pengembangan sistem neraca ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan.
PENUTUP
Berdasarkan hasil perhitungan analisis shift share pada sembilan sector lapangan usaha pembentuk PDRB Kota Malang periode tahun 2005-2009, maka struktur perekonomian Kota Malang dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Struktur ekonomi daerah periode tahun 2005-2009 berdasarkan hasil analisis shift share untuk konstribusi PDRB Kota Malang dari komponen jumlah (total), semua sektor lapangan usaha di Kota Malang menunjukkan nilai positif, sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang paling besar dalam memberikan konstribusi terhadap pertumbuhan PDRB di Kota Malang yakni sebesar Rp 6,652,523.78 (35,66 %) diikuti sektor industri pengolahan sebesar Rp 6,319,409.35 (33,87 %), sektor jasa-jasa sebesar Rp 2,200,305.84 (11,79%), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp 2,101,397.28 (11,26%), sektor angkutan dan komunikasi sebesar Rp 666,687.27 (3,57%), sektor bangunan sebesar Rp 599,963.42 (3,22%), sektor pertanian sebesar Rp 61,521.68 (0,33 %), sektor listrik, gas dan air bersih sebesar Rp 52,163.35 (0,28 %), dan paling rendah konstribusinya terhadap PDRB Kota Malang adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp 2,760.11 (0,01 %). Artinya bahwa telah terjadi pergeseran sektor perekonomian dari sektor perekonomian tradisional ke sektor perekonomian modern.
  2. Pergeseran struktur ekonomi di Kota Malang dari struktur ekonomi pertanian ke struktur ekonomi industri, perdagangan, keuangan dan jasa. Pergeseran ini diikuti dengan pergeseran konstribusi terhadap PDRB dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan, keuangan dan jasa di Kota Malang.
  3. Hasil perhitungan dari analisis shift share menunjukkan bahwa sektor yang merupakan sektor unggulan dengan kriteria tergolong ke dalam sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat, sektor basis dan kompetitif, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor jasa-jasa, sector bangunan dan sektor angkutan dan komunikasi.
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, penulis menyarankan beberapa hal, yaitu:
  1. Pemerintah Kota Malang dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB) agar lebih mengutamakan pengembangan sektor dan sub sektor unggulan dengan tidak mengabaikan sektor dan sub sektor lain yang konstribusinya kecil dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sehingga memberikan dampak positif yang besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat dan lapangan pekerjaan.
  2. Sektor unggulan (potensial) dalam pertumbuhan ekonomi Kota Malang adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan restoran dan sector industry, sector jasa-jasa dan sector keuangan karena Kota Malang sebagai kota tujuan wisata dan pendidikan, dan investasi maka disarankan agar Pemerintah Kota Malang dapat meningkatkan pembangunan sarana prasarana infrastruktur seperti jalan dan dukungan kebijakan atau regulasi yang tidak berbelit serta menerapkan kebijakan pembangunan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R, 2008. Ekonomi Archipelago. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Arsyad, L, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE, Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik, 2010. Kota Malang dalam Angka 2005-2010.
Badan Pusat Statistik, 2010. Jawa Timur dalam Angka 2005-2010.
Glasson, John,1977. Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan Paul Sitohang, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta.
Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri, 2001. Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, sosial dan Lingkungan. LP3ES, Jakarta.
Richardson, Harry W, 2001. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional, Terjemahan Paul Sitohang, Edisi Revisi, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta.
Siagian, Sondang P, 1984. Proses Pengelolaan Pembangunan Nasional. Gunung Agung, Jakarta.
Sirojuzilam, 2008. Disparitas Ekonomi dan Perencanaan Regional, Ketimpangan Ekonomi Wilayah Barat dan Wilayah Timur Provinsi Sumatera Utara, Pustaka Bangsa Press.
Sjafrizal, 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Baduose Media, Cetakan Pertama, Padang.
Supartono, 2003. Pergeseran Struktur Perekonomian Sektor Pertanian, Industri, dan Jasa di Kabupaten Malang Tahun 1990-1999. Jurnal IPM Agritek Vol.11 No.4 Hal:746-752 Malang.
Prasetyo Soepomo, 1993. Analisis Shift Share, Perkembangan dan Penerapannya. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia.
Tarigan, Robinson, 2007. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, PT. Bumi Aksara, Cetakan Keempat, Jakarta.
Todaro, Michael P, 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Penerbit Erlangga, Edisi Keenam, Jakarta.