Minggu, 12 Februari 2012

Tugas Mata Kuliah: Metode dan Teknik Perencanaan Wilayah_PPSLPUB


KONSERVASI WILAYAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
GUNA MENDUKUNG PEMBANGUNAN WILAYAH DAS BERKELANJUTAN

I WAYAN SUSANTO, S.Hut / 106150100011001
Email: wsusanto79@gmail.com
Program studi Pengelolaan Sumberdaya, Lingkungan dan Pembangunan
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang


  1. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS yang ditandai dengan meningkatnya lahan kritis setiap tahun di bagian hulu dan tingkat erosi yang terus meningkat antara lain disebabkan tidak adanya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut sehingga membawa implikasi menurunnya kondisi DAS. Dimana, masing-masing daerah kadang berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di wilayah DAS. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi.
Tingkat kekritisan lahan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun.

Jumlah penduduk yang terus berkembang, sementara lapangan kerja sangat terbatas sebagaimana disinggung di atas, telah mendorong masyarakat memanfaatkan setiap jengkal lahan untuk memperoleh produksi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup. Permasalahan degradasi lingkungan DAS timbul, apabila pemanfaatan lahan ini dilakukan pada daerah berlereng tanpa memperhatikan kemampuan lahannya. Aktivitas penggunaan lahan demikian tidak saja merugikan wilayah setempat (on site) tetapi juga menjadikan derita di wilayah hilirnya (off site). Proses ini terangkai dalam sistem aliran sungai yang berjalan mengikuti kaidah alami (proses hidrologis) yang tidak terikat oleh batas administrasi. Oleh karena itu, tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan pula dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan (upaya konservasi) sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS.
Disisi lain, adanya kesenjangan pemanfaatan ruang dalam pengelolaan DAS antara elit lokal (pengusaha) dengan masyarakat petani sekitar DAS telah membuka peluang konflik kepentingan. Kondisi ini menjadi ancaman terhadap daya dukung DAS karena pemanfaatan dan pengelolaan DAS akan dilakukan semaunya tanpa memperhatikan karakteristik dan kelestarian fungsi DAS. Adanya konflik kepentingan dalam pemanfaatan wilayah DAS dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar DAS yang masih jauh dari sebuah hidup yang layak, maka perlu adanya upaya harmonisasi pemberdayaan masyarakat sekitar DAS dan upaya konservasinya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya DAS dalam mengatur fungsi hidrologi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Pada prinsipnya gambaran kerusakan lingkungan DAS di Indonesia telah menjadi keprihatinan banyak pihak, baik di dalam negeri maupun oleh dunia internasional. Hal ini ditandai dengan meningkatnya bencana alam yang dirasakan, seperti bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin meningkat. Rendahnya daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu ekosistem diduga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air (water related disaster) tersebut. Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah.
Tidak dipungkiri bahwa upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi DAS sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1970-an melalui Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (PPHTA), melalui Inpres Penghijauan dan Reboisasi, kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Tujuan dari upaya-upaya tersebut pada dasarnya adalah untuk mewujudkan perbaikan lingkungan seperti penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat sosial ekonomi yang nyata bagi masyarakat, namun tingkat keberhasilannya masih rendah.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan perlunya upaya konservasi wilayah DAS guna mendukung pembangunan wilayah DAS secara terpadu dan berkelanjutan yang harus melibatkan pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya alam yang terdiri dari unsur–unsur masyarakat, dunia usaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah dengan prinsip-prinsip keterpaduan, kesetaraan dan berkomitmen untuk menerapkan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah DAS yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan.

  1. KONSEP WILAYAH (DAS)

Wilayah (region) didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang di batasi oleh kriteria tertentu dan bagian-bagiannya tergantung secara internal. Rudi Wibowo dan Soetriono, 2004, bahwa wilayah dapat di bagi menjadi empat jenis yaitu; (1) wilayah homogen, (2) wilayah nodal, (3) wilayah administartif, dan (4) wilayah perencanaan.
a. Wilayah Homogen
Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari aspek/kriteria mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama. Sifat-sifat atau ciri-ciri kehomogenan ini misalnya dalam hal ekonomi (seperti daerah dengan stuktur produksi dan kosumsi yang homogen, daerah dengan tingkat pendapatan rendah/miskin dll.), geografi seperti wilayah yang mempunyai topografi atau iklim yang sama), agama, suku, dan sebagainya.
b. Wilayah Nodal
Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (interland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi. Batas wilayah nodal di tentukan sejauh mana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila di gantikan oleh pengaruh dari pusat kegiatan ekonomi lainnya.
c. Wilayah Administratif
Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya di tentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti: propinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, dan RT/RW. Dalam prakteknya, apabila membahas mengenai pembangunan wilayah, maka pengertian wilayah administrasi merupakan pengertian yang paling banyak digunakan. Lebih populernya pengunaan pengertian tersebut disebabkan dua faktor yakni: (a) dalam kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai badan pemerintahan. Dengan demikian, lebih praktis apabila pembangunan wilayah didasarkan pada suatu wilayah administrasi yang telah ada; dan (b) wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan atas suatu administrasi pemerintah lebih mudah dianalisis, karena sejak lama pengumpulan data diberbagai bagian wilayah berdasarkan pada suatu wilayah administrasi tersebut.
Namun dalam kenyataannya, pembangunan tersebut sering kali tidak hanya dalam suatu wilayah administrasi, sebagai contoh adalah pengelolaan pesisir, pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan lingkungan dan sebagainya, yang batasnya bukan berdasarkan administrasi namun berdasarkan batas ekologis dan seringkali lintas batas wilayah administrasi. Sehinga penanganannya memerlukan kerja sama dari suatu wilayah administrasi yang terkait.


d. Wilayah Perencanaan
Wilayah perencanan (planning region atau programming region) sebagai wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dapt dilihat sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan perencanaannya dapat dipandang sebagai satu kesatuan. Wilayah perencanaan bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun ada juga dari aspek ekologis. Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan daerah aliran sungai harus direncanakan dan dikelola mulai dari hulu sampai hilirnya.
Wilayah DAS sebagai kesatuan bio-region harus dipahami secara holistik dan komprehensif oleh penyelenggara daerah otonom. Prinsip dasar dari DAS sebagai bio-region adalah keterkaitan berbagai komponen dalam DAS secara spasial (ruang), fungsional, dan temporal (waktu). Perubahan salah satu bagian dari bio-region atau DAS akan mempengaruhi bagian lainnya, sehingga dampak dari perubahan bagian bio-region atau DAS tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh bagian itu sendiri (on site) tetapi juga bagian luarnya (off site). Rusaknya hutan di bagian hulu akan menimbulkan banjir, erosi, sedimentasi, dan penurunan kualitas air di bagian hilirnya.
Ketidakpahaman atas implementasi prinsip keterkaitan SDA dalam bio-region atau DAS dapat menimbulkan konflik antar daerah/regional, terutama yang menyangkut alokasi dan distribusi sumberdaya. Semakin terbatas suatu SDA dibandingkan dengan permintaan masyarakat, maka kompetisi untuk memperoleh SDA tersebut semakin tinggi dan peluang terjadinya konflik makin besar. Hal ini jelas terlihat pada konflik pemanfaatan sumber daya air, hutan, dan lahan di wilayah DAS.

  1. KARAKTERISTIK EKOSISTEM DAS
Sebagai sebuah ekosistem, DAS terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponen pun yang berdiri sendiri. Melainkan ia mempunyai keterkaitan dengan komponen yang lain, langsung atau tidak langsung. Aktivitas suatu komponen selalu memberi pengaruh pada komponen-komponen ekosistem yang lain. Secara Hidrologis wilayah hulu dan hilir merupakan satu kesatuan organis yang tidak dapat terpisahkan, keduanya memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang sangat tinggi.
Dalam mempelajari ekosistem DAS, Daerah Aliran Sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan air). Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang sama pentingnya dengan daerah hilir karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS.
Gambar 1. Interaksi Antar Komponen dalam DAS (sumber: Hikmat Ramdan, 2004)
Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi beberapa variable yang dapat diperoleh melalui pengukuran langsung, data sekunder, peta dan dari data penginderaan jauh (remote sensing). Seyhan, (1997) menyatakan bahwa karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: (1) Faktor lahan (ground factor), yang meliputi topografi, tanah, geologi, geomorfologi dan (2) Faktor vegetasi dan penggunaan lahan. Lebih lanjut Indarto, (2010) menguraikan beberapa karakteristik DAS antara lain :
  1. Daerah Tangkapan Hujan dan Volume Run-off
Ukuran dan besar kecilnya daerah tangkapan hujan yang memberi konstribusi terhadap aliran sungai (contributing area) di dalam DAS berpengaruh langsung terhadap total volume aliran yang keluar dari DAS. Dengan demikian, antara DAS yang daerah tangkapan hujannya relatif luas (DAS besar) dengan DAS yang daerah tangkapan hujannya relatif sempit (DAS kecil), maka total volume aliran yang dihasilkan oleh DAS besar akan relatif lebih banyak daripada DAS yang berukuran kecil. Oleh karena itu, untuk berbagai situasi, volume aliran air hanya akan ditentukan oleh luasan konstribusi yakni luas bagian DAS yang terkena hujan, bukan luas total DAS.

  1. Ukuran DAS dan waktu terjadinya aliran permukaan
Di dalam DAS yang berukuran besar, aliran permukaan yang berjalan dari suatu titik di bagian hulu DAS akan menempuh waktu yang lebih lama sebelum sampai ke outlet, bila dibandingkan dengan titik pada posisi yang sama untuk mencapai outlet pada DAS kecil. Dengan demikian, ukuran DAS akan berpengaruh terhadap terjadinya aliran permukaan yang teramati pada outlet DAS.
  1. Bentuk DAS
Bentuk DAS pada umumnya yaitu memanjang dan melebar (lingkaran). Bentuk DAS tersebut berpengaruh terhadap besar dan waktu terjadinya aliran puncak pada outlet DAS. Pada kasus DAS dengan luas yang sama tetapi bentuk berbeda yakni melebar (lingkaran) maka titik air dari berbagai lokasi di bagian hulu akan sampai di outlet pada saat yang relatif sama dan menghasilkan debit puncak yang lebih tinggi. Sedangkan, pada bentuk DAS yang memanjang maka titik-titik air dari berbagai lokasi di wilayah hulu DAS sangat kecil kemungkinannya untuk sampai di outlet pada saat yang sama. Dengan demikian, DAS yang memanjang akan menghasilkan hidrograf dengan debit puncak relatif lebih tumpul (rendah) dibanding DAS dengan bentuk melebar.
  1. Meander Sungai/Pola aliran
Meander atau bentuk lika-liku ruas aliran di sepanjang sungai menambah jarak tempuh lebih panjang bagi air untuk mengalir sampai ke outlet. Dengan demikian, air yang mengalir dari hulu DAS menuju outlet melewati sungai yang ber-meander akan menjadi lebih lambat dan dapat mengurangi volume total air.
  1. Kemiringan DAS
Kemiringan DAS mempengaruhi jumlah dan waktu aliran untuk mencapai outlet. Tingkat kemiringan (slope) menyebabkan kontak antara air hujan dan permukaan tanah tidak lagi tegak lurus. Karena tanah miring, gaya gravitasi tidak lagi menarik air langsung ke dalam tanah, sehingga lebih banyak air hujan berpotensi menjadi aliran permukaan. Lebih lanjut, gerakan air pada permukaan tanah miring bergerak lebih cepat dan sedikit waktu untuk kontak dengan permukaan tanah, hal ini akan mengurangi potensi infiltrasi. Demikian pula dengan tingkat erosi akan berbanding lurung dengan tingkat kemiringan.
  1. Kekasaran Permukaan
Kekasaran permukaan (roughness) dari saluran atau sungai meningkat karena adanya bebatuan, vegetasi dan sampah. Faktor kekasaran permukaan berpengaruh langsung terhadap kecepatan air mengalir di dalam saluran atau sungai dan terhadap kenaikan debit puncak. Permukaan yang kasar menyebabkan turbulensi aliran meningkat. Aliran yang semakin turbulen menghasilkan aliran yang lambat. Hal ini akan meningkatkan infiltrasi dan menghasilkan hidrograf banjir yang lebih lebar dengan debit puncak lebih rendah. Sebaliknya, mengurangi tingkat kekasaran permukaan saluran akan menghasilkan aliran yang cepat dan debit puncak yang lebih besar.
  1. Kerapatan jaringan sungai
Kerapatan jaringan sungai (stream density) adalah jumlah panjang semua sungai dan anak sungai di dalam DAS di bagi dengan luas DAS. Suatu DAS dengan satu sungai dan sejumlah besar percabangan anak sungai mempunyai kerapatan jaringan yang lebih tinggi dibanding DAS dengan satu sungai dan beberapa anak sungai. Kerapatan jaringan sungai yang tinggi memungkinkan aliran permukaan dari wilayah di atas anak-anak sungai untuk terdrainase lebih efisien. Dengan demikian akan membagi dan mengurangi debit puncak.

  1. PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH DAS

Perencanaan adalah suatu proses kegiatan penentuan tindakan/langkah-langkah yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan DAS dalam waktu tertentu dengan mempertimbangkan potensi, peluang dan kendala yang mungkin timbul. Perencanaan pengelolaan DAS merupakan salah satu proses dari rangkaian atau siklus penyelenggaraan pengelolaan DAS yang secara umum meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan (pengembangan, penggunaan/pemanfaatan, perlindungan,dan pengendalian), pemantauan dan evaluasi. Hasil pemantauan dan evaluasi akan merupakan umpan balik untuk penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di DAS.
Pendekatan menyeluruh terhadap perencanaan pengelolaan DAS diperlukan dengan pertimbangan bahwa terganggunya salah satu komponen pada sistem alam sumberdaya alam akan berpengaruh terhadap komponen lainnya dalam sistem. Pendekatan menyeluruh tersebut pada hakekatnya adalah suatu kajian terpadu terhadap keseluruhan aspek sumberdaya alam DAS. Kajian tersebut mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan, sosial, politik, dan tataguna lahan. Perencanaan menyeluruh pengelolaan DAS merupakan bagian strategis untuk tercapainya muara dari upaya aktivitas pembangunan, yaitu pembangunan wilayah DAS yang berkelanjutan (sustainable development). Sasaran dan tujuan fundamental perencanaan menyeluruh pengelolaan DAS adalah perbaikan keadaan sosial-ekonomi pihak - pihak yang berkepentingan dengan tidak mengabaikan keterlanjutan daya dukung dan kualitas lingkungan DAS. Untuk mencapai tujuan dan sasaran perencanaan tersebut perlu dilakukan proses berulang dalam perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana Gambar 2. sehingga didapatkan model pengelolaan DAS yang paling sesuai.
Dalam penyusunan rencana kegiatan pengelolaan DAS perlu mengintegrasikan dengan rencana tata ruang dan penatagunaan tanah, mempertimbangkan hubungan daerah hulu dan daerah hilir, serta aspek penanggungan biaya bersama (cost sharing) karena batas ekosistem DAS tidak selalu sama (coincided) dengan batas administratif. Disamping itu, adanya keterkaitan biofisik antara hulu dan hilir DAS perlu juga dilakukan identifikasi, penentuan lokasi, kategori dan bentuk aktifitas pihak - pihak yang berkepentingan dalam suatu DAS. Selanjutnya, dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang telah mempertimbangkan mekanisme, regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif dan disinsentif terhadap pihak - pihak yang berkepentingan sesuai dengan kategori dan kedudukannya dalam perspektif prinsip pembiayaan bersama (cost sharing principle). Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari pihak - pihak yang berkepentingan yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut. Dengan mekanisme ini terjadi interaksi di antara pihak - pihak yang berkepentingan di daerah hulu, tengah dan hilir DAS.
Gambar 2. Proses Berulang Perencanaan Pengelolaan DAS

Perencanaan setiap DAS menghasilkan Dokumen Rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang bersifat jangka panjang (misalnya 20 tahun). Rencana pengelolaan DAS terpadu yang mengacu pada kaidah-kaidah “satu DAS, satu rencana, dan satu sistem pengelolaan” (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.42/Menhut-II/2009), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. Proses perencanaan pengelolaan DAS terpadu melibatkan lembaga terkait (para pihak) secara berjenjang dari pusat hingga daerah.
Berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2007, penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu merupakan urusan Pemerintah. Untuk DAS dalam satu kabupaten/kota dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan lembaga koordinasi pengelolaan DAS kabupaten/kota. Pada DAS lintas kabupaten/kota dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan lembaga koordinasi pengelolaan DAS provinsi dengan memperhatikan saran dan masukan dari lembaga koordinasi pengelolaan DAS tingkat kabupaten/kota. Sedangkan penyusunan rencana DAS lintas provinsi dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan lembaga koordinasi pengelolaan DAS Nasional dengan mempertimbangkan saran dan masukan dari lembaga koordinasi pengelolaan DAS tingkat provinsi. Pemerintah provinsi memberikan pertimbangan teknis dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota dan DAS lintas provinsi. Pemerintah kabupaten/kota memberikan pertimbangan teknis dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS dalam satu kabupaten/kota dan DAS lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi.
  1. Perencanaan pengelolaan DAS mencakup wilayah pengelolaan sumberdaya dari hulu sampai hilir suatu DAS.
Perencanaan pengelolaan DAS terpadu memperlakukan DAS secara utuh dari hulu sampai hilir sebagai unit wilayah perencanaan. Dengan konsep pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem ini maka diperlukan kajian keterkaitan antar kegiatan pengelolaan sumberdaya serta dampak biofisik, sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya sehingga memungkinkan untuk mengukur keberlanjutan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan melalui kriteria dan indikator tertentu.
Dalam ekosistem DAS, bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem DAS terutama dari segi fungsi dan stabilitas tata air. Dengan adanya bentuk keterkaitan biofisik (melalui daur hidrologi) antara daerah hulu dan hilir, maka karakteristik biofisik suatu DAS harus dimanfaatkan sebagai informasi penting dalam perencanaan pengelolaan DAS terutama untuk menentukan hubungan kausalitas spasial dalam pengelolaan DAS terpadu.
  1. Perencanaan pengelolaan DAS dilakukan secara partisipatif dan adaptif.
Proses partisipasi dilaksanakan pada keseluruhan tahapan pelaksanaan pengelolaan DAS yang meliputi: tahap pembuatan keputusan (kebijakan dan perencanaan), tahap pelaksanaan (implementasi), dan tahap pemantauan dan evaluasi (pengendalian). Proses pembuatan keputusan yang menyangkut rencana pengelolaan DAS harus melibatkan para pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS, termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi sumberdaya yang dikelola. Partisipasi para pihak terkait dalam perencanaan pengelolaan DAS terutama ditujukan untuk menyamakan persepsi, konsep, tujuan dan program bersama dalam pengelolaan DAS terpadu. Dengan adanya persamaan pandangan tersebut diharapkan rencana pengelolaan DAS terpadu yang disusun dapat disepakati dan dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.
Rendahnya keterlibatan masyarakat, dalam pembuatan keputusan dan pengelolaan sumberdaya, seringkali menimbulkan berbagai konflik antara pemerintah dan/atau dunia usaha dan masyarakat. Konflik-konflik yang terjadi tersebut selain mempengaruhi keberlanjutan usaha pemanfaatan sumberdaya, juga dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu, dalam pengelolaan sumberdaya alam DAS perlu ditekankan pentingnya partisipasi masyarakat. Partisipasi tersebut perlu ditata secara proporsional sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan dilakukan oleh wakil-wakil masyarakat yang ditentukan melalui mekanisme yang sesuai dengan sistem adat budaya lokal (prinsip keterwakilan).
Gambar 3. Proses perencanaan pengelolaan DAS

Perencanaan Pengembangan DAS adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memanfaatkan sumberdaya alam DAS secara rasional guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup, seraya membina hubungan yang harmonis antara sumberdaya alam dan manusia serta keserasian ekosistem secara lestari. Untuk itu maka setiap kegiatan dalam DAS harus juga memenuhi tujuan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Suatu kegiatan pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan apabila pembangunan itu dapat mewujudkan  paling sedikit tiga indikator utama secara simultan yaitu 1). pendaatan yang cukup tinggi, 2). teknologi yang digunakan tidak mengakibatkan degradasi lingkungan dan 3). teknologi tersebut dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan oleh masyarakat (replicable) dengan sumberdaya lokal yang dimiliki.



Keadaan DAS dianggap sebagai suatu sistem, maka dalam pembangunannya pun, DAS harus diperlakukan sebagai suatu sistem (Gill, 1979 dalam Sinukaban, 2007). Dengan memperlakukan DAS sebagai suatu sistem dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan, maka sasaran perencanaan pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik sebagai berikut:
  1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidpan yang layak bagi petani yang mengusahakannya. Produktivitas yang tinggi dapat diperoleh apabila lahan tersebut digunakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu harus dipilih komoditas pertanian yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan dikelola dengan agroteknologi yang memenuhi persyaratan, sehingga produktivitas tetap tinggi dan kualitas lahan terjaga secara lestari.
  2. Mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS. Perencana pengelolaan DAS harus memberikan perhatian serius pada hal ini agar seluruh stakeholders di dalam  DAS memperoleh pendapatan yang dapat mendukung kehidupan yang layak. Apabila keadaan seperti ini terwujud maka DAS tersebut akan bersifat lentur, sehingga walaupn ada kegagalan produksi di salah satu bagian DAS akibat bencana alam, maka bagian lain DAS akan dapat membantu bagian yang terkena bencana.
  3. Dapat menjamin kelestarian sumberdaya air. Salah satu faktor penting yang harus diwujudkan dalam setiap sistem pengelolaan DAS adalah menjaga fungsi DAS sebagai pengatur tata air yang baik. Oleh sebab itu fungsi hidrologis DAS harus dapat terjaga secara lestari yang dicirikan oleh ketersediaan sumberdaya air yang meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi yang baik sepanjang tahun di seluruh DAS.

  1. KONSERVASI WILAYAH DAS
Kelas kemampuan lahan adalah kelompok penggunaan lahan suatu wilayah sesuai dengan kemampuan lahan tersebut untuk dapat digunakan secara efisien dan optimal, dengan perlakuan-perlakuan tertentu sehingga dapat dipergunakan secara berkelanjutan. Berdasarkan kelas kemampuan lahan tersebut maka dapat ditentukan wilayah DAS yang dapat dikembangkan untuk usaha budidaya dan wilayah DAS yang perlu upaya konservasi atau dengan memadukan kedua usaha tersebut. Kelas Kemanpuan lahan dapat digambarkan seperti Gambar 5.
Dalam sistem DAS, pengelolaan lahan tidak hanya untuk kepentingan setempat tetapi juga untuk kepentingan eksternal. Pengelolaan lahan daerah hulu yang berfungsi sebagai wilayah tangkapan air (recharge), sebagai fokus utamanya, mengingat akan berpotensi berdampak luas ke daerah tengah dan hilir. Oleh karena itu, konservasi dan rehabilitasi lahan kritis DAS hulu haruslah mendapatkan perhatian yang serius untuk menjaga tutupan vegetasi dan produktivitas lahan DAS. Untuk menjaga produktivitas lahan DAS, maka penggunaan lahan harus sesuai dengan kelas kemampuan lahan serta penggunaan agroteknologi harus disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai . Tipe teknik konservasi tanah dan air yang banyak diterapkan di seluruh dunia termasuk dalam pengelolaan DAS di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu agronomi, vegetatif, struktur (sipil teknis), dan manajemen (WASWC, 1998 dalam Sinukaban, N., 2007; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.70/Menhut-II/2008).


Gambar 4. Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan Dengan Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan (sumber: Sitorus, S.R.P., 1985 dalam Tjokrokusumo, S.W., 2002)

Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok agronomi antara lain penanaman tanaman campuran (tumpang sari), penananam berurutan (rotasi), penggunaan mulsa, pengolahan tanah minimum, penananam tanpa olah tanah, penanaman mengikuti kontur, penananam di atas guludan mengikuti kontur, penggunaan pupuk hijau atau pupuk buatan, dan penggunaan kompos. Sedangkan teknik konservasi tanah dan air yang  dikelompokkan ke dalam kelompok vegetatif antara lain penanaman tanaman pohon atau tanaman tahunan (seperti kopi, teh, tebu, pisang), penanaman tanaman tahunan di batas lahan (tanaman pagar), penanaman strip rumput (vetiver, rumput makanan ternak).
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok struktur (sipil teknis) antara lain saluran penangkap aliran permukaan, saluran pembuangan air, saluran teras, parit penahan air (rorak), sengkedan, guludan, teras guludan, teras bangku, dam penahan air, dam pengendali embung air, pengendali jurang (gully plug), bangunan terjunan air dan perlindungan kanan kiri tebing sungai. Sedangkan teknik konservasi tanah  dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok manajemen antara lain perubahan pengunaan lahan menjadi lebih sesuai, pemilihan usaha pertanian yang lebih cocok, pemilihan peralatan dan masukan komersial yang lebih tepat, penataan pertanian termasuk komposisi usaha pertanian, dan penentuan waktu persiapan lahan, penanaman, dan pemberian input.
Penerapan pola agroforestry yang merupakan pola tumpang sari tanaman tahunan dengan tanaman semusim, mampu menutup tanah dengan sempurna sehingga berpengaruh efektif terhadap pengendalian erosi. Pada saat tanaman tahunan masih kecil petani sekitar hutan dapat mengusahakan untuk budidaya tanaman semusim. Keterlibatan petani sekitar hutan, disamping dapat membantu secara ekonomis (dari hasil tanaman semusim) juga kelestarian tanaman hutan akan terjaga karena tumbuh kesadaran petani untuk memeliharanya. Selain itu pola penanaman ganda dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman secara bersamaan atau digilir dapat secara efektif dalam pengendalian erosi. Pola penanaman perkebunan yang sering divariasi dengan pembuatan rorak efektif dalam pengendalian erosi.
Dalam usaha tani konservasi dengan pola agroforestri, praktek pertanian terpadu sangat menguntungkan dalam pengelolaan wilayah (lahan) DAS, yaitu dilakukan dengan mensinergikan tanaman kehutanan, tanaman budidaya pertanian dan peternakan. Hijauan pakan ternak didapatkan dari pangkasan rumput yang ditanam sebagai penguat teras atau jerami, sedang kotoran ternak dapat kita gunakan sebagai pupuk kandang. Integrasi ternak dengan tanaman, baik itu tanaman pangan, tanaman perkebunan, maupun hotikultura memberkan nilai tambah yang cukup tinggi. Beberapa keuntungan yang diperoleh melalui penerapan sistem agroforestri meliputi : 1) mampu mengoptimalkan input lokal, 2) meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi resiko kegagalan total, 3) menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, 4) sifatnya yang tidak bertentangan dengan kondisi sosial masyarakat, dan 5) mempunyai peran penting dalam upaya rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan kualitas lahan.
Gambar 5. Ruang Lingkup Sistem Pemanfaatan Lahan secara Agroforestri
  1. PENGELOLAAN WILAYAH DAS SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN

Prinsip Pengelolaan DAS secara Terpadu dan Berkelanjutan
Pengelolaan DAS terpadu pada dasarnya adalah pengelolaan semua kegiatan dalam suatu DAS secara rasional, partisipatif dan integratif sedemikian rupa sehingga diperoleh manfaat secara lestari atau berkelanjutan (sustainable) dalam arti tidak terjadi kerusakan atau penurunan kualitas sumberdaya alam (hutan atau vegetasi, lahan, dan air). Pengelolaan DAS yang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi (kelestarian) akan memberikan dampak positif terhadap keberhasilan pembangunan wilayah yang berkelanjutan.
Dalam mewujudkan pengelolaan DAS secara terpadu untuk mendukung pembangunan wilayah yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan potensi DAS yang memiliki nilai strategis secara ekonomi, ekologi, sosial budaya dan politis, maka pendekatan dan prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar acuan dalam pengelolaan DAS terpadu (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.42/Menhut-II/2009) adalah sebagai berikut:
  1. Pengelolaan DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir, satu perencanaan dan satu sistem pengelolaan secara komprehensif dan integralistik.
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam satu DAS sebagai satu kesatuan ekosistem terdapat keterkaitan hulu-hilir DAS dalam hal aktivitas pengelolaan sumberdaya dan dampak yang ditimbulkannya (”on-site” maupun ”off-site impact”). Hal ini terutama dikarenakan adanya air sebagai sumberdaya alam DAS yang mengalir dari hulu sampai dengan hilir. Keterkaitan hulu-hilir ini juga mendasari digunakannya ekosistem DAS sebagai satuan terbaik dalam pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem. Untuk itu harus ada satu rencana pengelolaan DAS terpadu dari hulu sampai hilir sehingga terdapat satu sistem pengelolaan sumberdaya DAS yang disepakati oleh para pihak yang terlibat untuk menjamin kelestarian DAS dalam jangka panjang.
  1. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan multipihak, koordinatif, menyeluruh dan berkelanjutan.
Prinsip ini menegaskan bahwa sumberdaya alam DAS yang sangat beragam (hayati dan non hayati) merupakan sistem yang kompleks sehingga pengelolaan DAS secara terpadu memerlukan partisipasi berbagai sektor dan multipihak dengan pendekatan inter-disiplin, lintas bidang keilmuan dan seringkali lintas wilayah administrasi pemerintahan. Kewenangan pengelolaan sumberdaya dalam DAS berada pada lebih dari satu sektor. Oleh karena itu, pengelolaan DAS terpadu memerlukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar para pihak baik dalam penetapan kebijakan, perencanaan program dan kegiatan maupun dalam implementasi dan pengendalian penyelenggaraan pengelolaan DAS. Pengelolaan juga tidak hanya mencakup kegiatan pemanfaatan/penggunaan sumberdaya alam tetapi juga harus mengandung kegiatan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam agar manfaatnya bisa berkelanjutan serta upaya-upaya pengendalian terhadap daya rusak yang mungkin timbul/disebabkan oleh kondisi ekstrim dari sumberdaya alam, karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan secara holistik, komprehensif dan berkelanjutan.
  1. Pengelolaan DAS bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang dinamis dan sesuai dengan karakteristik DAS.
DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang bersifat dinamis dimana unsur biofisik (misalnya : flora, fauna, iklim, lahan, air, bangunan sarana prasarana), sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu apabila terjadi perubahan unsur-unsur ekosistem di dalam DAS maka diperlukan respon dari para penyelenggara pengelolaan DAS baik dalam hal kebijakan maupun implementasi program dan kegiatan sehingga tujuan pengelolaan DAS dapat tercapai.
  1. Pengelolaan DAS dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban biaya dan manfaat antar multipihak secara adil.
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam pengelolaan DAS terdapat berbagai pihak yang terlibat dan banyak pihak yang memperoleh manfaat dari barang dan jasa DAS sekaligus juga terdapat pihak yang membuat pencemaran atau kerusakan terhadap ekosistem DAS. Pembiayaan penyelenggaraan pengelolaan DAS tidak adil jika hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga harus dibiayai oleh para penerima manfaat barang dan jasa DAS dan pencemar ekosistem DAS terutama untuk kegiatan rehabilitasi, restorasi dan/atau reklamasi sumberdaya hutan, lahan dan air bagi kepentingan kelestarian ekosistem DAS itu sendiri dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Prinsip keadilan juga harus mempertimbangkan keterkaitan hulu dan hilir DAS dimana seringkali daerah hulu DAS harus melakukan konservasi hutan, tanah dan air untuk kepentingan kelestarian sumberdaya air di daerah hilir DAS.
  1. Pengelolaaan DAS berdasarkan akuntabilitas para pemangku kepentingan.
Prinsip ini menegaskan bahwa pengelolaan DAS pada dasarnya adalah keterpaduan lintas sektor dan lintas wilayah administrasi pemerintahan dalam pengelolaan sumberdaya dalam kerangka pembangunan secara berkelanjutan. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari sumberdaya alam untuk manusia dan kehidupan lainnya secara berkelanjutan tersebut diperlukan akuntabilitas dari setiap sektor atau para pemangku kepentingan. Setiap sektor dalam melaksanakan misi dan kegiatannya tidak boleh berlawanan atau kontradiktif dengan tujuan pengelolaan DAS terpadu yang telah disepakati bersama, tetapi harus sejalan atau menunjang pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu.

Pola Umum Pengelolaan DAS Terpadu dan Berkelanjutan
Karena DAS merupakan suatu sistem hidrologi maka bagian-bagian dalam DAS mulai dari bagian hulu sampai hilir mempunyai hubungan saling ketergantungan yang sangat kuat secara hidrologis. Oleh sebab itu suatu kegiatan di salah satu bagian akan berpengaruh pada bagian lain terutama bagian hilirnya sehingga setiap kegiatan seyogyanya mempertimbangkan kepentingan bagian hilirnya agar tidak terjadi kerusakan/penurunan kualitas SDA baik di bagian itu sendiri maupun di bagian hilirnya. Keterpaduan pemikiran antara bagian hulu, tengah, dan hilir serta antara kegiatan fisik, sosial/budaya dan ekonomi politik di seluruh bagian DAS tersebut harus menjadi prinsip dalam pengelolaan suatu DAS. Dengan demikian setiap kegiatan pengelolaan DAS harus mengikuti kriteria teknis sektoral dan persyaratan kelestarian ekosistem DAS. Kriteria teknis sektoral adalah ukuran yang digunakan untuk menilai suatu kegiatan teknis sektor tertentu, sedangkan persyaratan kelestarian ekosistem DAS adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi guna terwujudnya kondisi ekosistem DAS yang lestari. Kegiatan pengelolaan DAS harus mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan antara ketersediaan dan pemanfaatan SDA serta antara bagian hulu dan hilir DAS dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna SDA secara berkelanjutan.
Gambar 7. Pola Umum Penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu

Pola umum pelaksanaan pengelolaan DAS terpadu antara lain meliputi pemanfaatan dan penggunaan; restorasi, rehabilitasi, dan reklamasi; serta konservasi sumberdaya alam (hutan, lahan, dan air) yang dilaksanakan pada kawasan lindung dan budidaya di bagian hulu dan hilir suatu DAS (Peraturan Menhut Nomor: P.42/menhut-II/2009) dengan penjelasan sebagai berikut:
  1. Pelaksanaan Pengelolaan DAS pada Kawasan Budidaya di Bagian Hulu DAS
  1. Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan, Lahan dan Air harus:
  1. Selaras dengan arahan fungsi ruang di kawasan budidaya dan sesuai dengan RTRW Provinsi dan kabupaten/kota yang telah disahkan;
  2. Pemanfaatan dan penggunaan hutan, lahan dan air harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  3. Menunjang terwujudnya luas penutupan vegetasi tetap paling sedikit 30 (tiga puluh) % dari luas DAS;
  4. Mencegah terjadinya banjir, kekeringan, tanah longsor, dan erosi tanah dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai termasuk kearifan lokal;
  5. Meningkatkan produktivitas hutan dan/atau lahan sesuai dengan daya dukungnya;
  6. Membatasi luas penggunaan lahan untuk bangunan agar daerah resapan air lebih terjamin.
  1. Restorasi, Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan Lahan harus:
  1. Selaras dengan program pembangunan wilayah yang telah disahkan;
  2. Meningkatkan produktivitas hutan dan lahan dengan menerapkan teknologi tepat guna;
  3. Mencegah terjadinya banjir, kekeringan, tanah longsor dan erosi tanah dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal;
  4. Menunjang memulihkan unsur biotik dan abiotik kawasan hutan melalui peningkatan tutupan vegetasi hutan dan kemampuan lahan di areal bekas pertambangan
  1. Konservasi Hutan, Tanah dan Air harus:
  1. Selaras dengan program pembangunan wilayah yang telah disahkan;
  2. Meningkatkan produktivitas hutan dan lahan dengan menerapkan teknologi tepat guna;
  3. Mencegah terjadinya banjir, kekeringan, tanah longsor dan erosi tanah dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal;
  4. Mencegah perambahan hutan, kebakaran hutan dan pencurian flora dan fauna;
  5. Mencegah terjadinya polusi/pencemaran tanah dan air;
  6. Meningkatkan kegiatan pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati.

  1. Pelaksanaan Pengelolaan DAS pada Kawasan Budidaya di Bagian Hilir DAS
    1. Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan, Lahan dan Air harus:
  1. Selaras dengan fungsi ruang di kawasan budidaya sesuai RTRW provinsi dan kabupaten/kota yang telah disahkan;
  2. Menunjang terwujudnya luas penutupan vegetasi tetap paling sedikit seluas 30 (tiga puluh) % dari luas DAS;
  3. Mencegah terjadinya banjir, kekeringan, genangan air dan penurunan kualitas air dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai;
  4. Meningkatkan produktivitas hutan dan/atau lahan sesuai dengan daya dukungnya.
    1. Restorasi Hutan, Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan Lahan harus:
  1. Selaras dengan program pembangunan wilayah yang telah disahkan;
  2. Meningkatkan produktivitas hutan dan lahan dengan menerapkan teknologi yang tepat guna;
  3. Mencegah terjadinya banjir, kekeringan, dan sedimentasi dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai;
  4. Menunjang memulihkan unsur biotik dan abiotik kawasan hutan melalui peningkatan tutupan vegetasi hutan dan kemampuan lahan di areal bekas pertambangan
    1. Konservasi Hutan, Tanah dan Air harus:
  1. Selaras dengan program pembangunan wilayah yang telah disahkan;
  2. Meningkatkan produktivitas hutan dan lahan dengan menerapkan teknologi tepat guna;
  3. Mencegah terjadinya banjir, kekeringan, tanah longsor dan erosi tanah dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal;
  4. Mencegah perambahan hutan, kebakaran hutan dan pencurian flora dan fauna;
  5. Mencegah terjadinya polusi/pencemaran tanah dan air;
  6. Meningkatkan kegiatan pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati.

  1. Pelaksanaan Pengelolaan DAS pada Kawasan Lindung di Bagian Hulu DAS
  1. Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan, Lahan dan Air harus:
  1. Selaras dengan arahan fungsi ruang di kawasan lindung sesuai dengan RTRW Provinsi dan kabupaten/kota yang telah disahkan.
  2. Pemanfaatan dan penggunaan hutan, lahan dan air harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  3. Mempertahankan dan memperbaiki kondisi tata air DAS. Pemanfaatan agar dapat mendukung kuantitas, kualitas dan distribusi air dalam DAS sepanjang tahun;
  4. Menunjang pencegahan terjadinya banjir, kekeringan, tanah longsor dan erosi tanah dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal
  5. Meningkatkan luas penutupan vegetasi tetap agar tercapai luas penutupan vegetasi tetap semaksimal mungkin di bagian hulu DAS;
  1. Restorasi Hutan, Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan Lahan harus:
  1. Selaras dengan program pembangunan wilayah yang telah disahkan;
  2. Meningkatkan produktivitas hutan dan lahan dengan menerapkan teknologi tepat guna;
  3. Mencegah terjadinya banjir, kekeringan, erosi dan tanah longsor dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal;
  4. Menunjang pemulihan unsur biotik dan abiotik kawasan hutan melalui peningkatan tutupan vegetasi hutan dan kemampuan lahan di areal bekas penggunaan kawasan hutan.
  1. Konservasi Hutan, Tanah dan Air harus:
  1. Selaras dengan program pembangunan wilayah yang telah disahkan;
  2. Melindungi dan melestarikan kualitas sumberdaya hutan, lahan dan air dengan menerapkan teknik konservasi hutan, tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal;
  3. Mencegah terjadinya polusi/pencemaran tanah dan air;
  4. Meningkatkan peran serta dan memberdayakan masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu termasuk jasa lingkungan sehingga terwujud kelestarian hutan.
  1. Pelaksanaan Pengelolaan DAS pada Kawasan Lindung di Bagian Hilir DAS
  1. Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan, Lahan dan Air harus:
  1. Selaras dengan arahan fungsi ruang di kawasan lindung sesuai RTRW provinsi dan kabupaten/kota yang telah disahkan;
  2. Mempertahankan dan memperbaiki kondisi tata air DAS;
  3. Mampu meningkatkan kuantitas, kualitas dan distribusi air dalam DAS sepanjang tahun;
  4. Mencegah terjadinya banjir, genangan, kekeringan dan sedimentasi dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal;
  5. Meningkatkan luas penutupan vegetasi tetap semaksimal mungkin di kawasan lindung;
  6. Meningkatkan dan mempertahankan penutupan hutan mangrove untuk mencegah abrasi pantai dan intrusi air laut;
  7. Meningkatkan peran serta dan memberdayakan masyarakat dalam melestarikan kawasan lindung
  1. Restorasi Hutan, Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan Lahan harus:
  1. Selaras dengan program pembangunan wilayah yang telah disahkan;
  2. Meningkatkan produktivitas hutan dan lahan dengan menerapkan teknologi yang tepat guna;
  3. Mencegah terjadinya banjir, kekeringan, erosi dan tanah longsor dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal;
  4. Menunjang pemulihan unsur biotik dan abiotik kawasan hutan melalui peningkatan tutupan vegetasi hutan dan kemampuan lahan di areal bekas penggunaan kawasan hutan.
  1. Konservasi Hutan, Tanah dan Air harus:
  1. Selaras dengan program pembangunan wilayah yang telah disahkan;
  2. Melindungi dan melestarikan kualitas sumberdaya hutan, lahan dan air dengan menerapkan teknik konservasi hutan, tanah dan air yang memadai termasuk kearifan lokal;
  3. Mencegah terjadinya polusi/pencemaran tanah dan air;
  4. Meningkatkan peran serta dan memberdayakan masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu termasuk jasa lingkungan sehingga terwujud kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati.
  5. Mencegah perambahan hutan, kebakaran hutan dan pencurian flora dan fauna;
  6. Meningkatkan dan mempertahankan penutupan hutan mangrove untuk mencegah abrasi pantai dan intrusi air laut.

Pemberdayaan Masyarakat
Disisi lain, untuk meningkatkan peranserta dan kepedulian masyarakat terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat DAS sehingga dapat mewujudkan pembangunan wilayah berkelanjutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS), maka pendekatanan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam mendapatkan manfaat sumberdaya alam di wilayah DAS secara optimal melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, melalui pendekatan:
  1. Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas kelompok tani atau masyarakat di sekitar DAS dalam penyelenggaraan kegiatan pengelolaan DAS seperti pengelolaan lahan, baik aspek teknis, kelembagaan maupun aspek administrasi.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dilakukan melalui kegiatan :
    1. Pelatihan
Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap masalah teknis, kelembagaan dan adminitrasi kegiatan dalam pengelolaan DAS (lahan). Dengan demikian terdapat 3 (tiga) kelompok pelatihan, yaitu pelatihan teknis, kelembagaan dan pelatihan administrasi yang perlu dilaksanakan.
  1. Pelatihan teknis
Pelatihan teknis dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap teknis pengelolaan dan pemanfaatan DAS yang lestari dengan menerapkan upaya-upaya konservasi seperti perencanaan partisipatif, pembibitan, pembuatan dan pemeliharaan tanaman, usahatani konservasi, dsb.
  1. Pelatihan Kelembagaan
Pelatihan kelembagaan dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap pengembangan kapasitas kelompok. Jenis-jenis pelatihan kelembagaan antara lain : pembentukan organisasi dan kepengurusannya, penyusunan aturan kelompok (AD/ART), dsb.
  1. Pelatihan administasi
Pelatihan administrasi dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan administrasi kegiatan kelompok, sehingga kelompok mampu membuat laporan kegiatan yang rasional dan akuntabel. Jenis-jenis pelatihan administrasi antara lain : Adminitrasi keuangan, administrasi kegiatan, administrasi pelaporan, dsb.
    1. Pendampingan
Pendampingan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan kelompok masyarakat sekitar DAS dengan cara pengembangan kelembagaan, pengembangan kemampuan teknis dan administrasi, pengembangan usaha, pengembangan teknologi, perluasan akses pasar, serta pembinaan kelompok. Kegiatan pendampingan kelompok antara lain terdiri dari pengembangan organisasi kelompok, penyusunan rencana kegiatan kelompok, pelaksanaan kegiatan, penyelenggaraan administrasi kelompok dan administrasi kegiatan dsb.
Pada dasarnya kegiatan pendampingan merupakan kewajiban pemerintah yang dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan pihak lain. Pelaksana pendampingan dilapangan antara lain :
  1. Petugas Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) dan atau petugas kehutanan lainnya atau Petugas penyuluh instansi teknis terkait lainnya.
  2. Perguruan tinggi, lembaga pengabdian masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau lembaga lain yang mempunyai kapasitas dan kepedulian dalam pemberdayaan kelompok masyarakat sekitar DAS.
    1. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan pendidikan non formal yang bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat menjadi pihak yang peduli terhadap kelestarian fungsi DAS. Penyuluhan harus dilakukan secara berkesinambungan, karena perubahan perilaku tidak dapat serta merta terjadi, tetapi melalui proses yang secara umum terdiri dari tahu, mau dan mampu melakukan pelestarian SDA yang ada di DAS melalui perpaduan usaha-usaha konservasi dan budidaya.
  1. Pengembangan Kesempatan Berusaha
Akan lebih bernilai bagi masyarakat sekitar DAS apabila kegiatan yang dilaksanakan dengan prinsip memanfaatkan kemampuan lokal seoptimal mungkin. Penggunaan bahan–bahan semaksimal mungkin menggunakan bahan yang tersedia di lokasi kegiatan yang dihasilkan masyarakat setempat dengan ketentuan sesuai dengan persyaratan teknis yang diperlukan, sehingga dapat menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab pada kelompok masyarakat. Pengembangan Kebun Bibit Rakyat (KBR) salah satunya untuk mendukung ketersediaan bibit dalam melakukan rehabilitasi wilayah DAS.
  1. Pemberian Akses Legalitas
Pemberian akses legalitas kepada masyarakat akan memberikan kepastian berusaha dan tanggungjawab yang jelas dalam pengelolaan DAS. Terkait dengan ini Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan Ijin Usaha Pengelolaan HKm, HTR, Hutan Desa, Hasil Hutan Bukan Kayu, pemanfaatan jasa lingkungan agar masyarakat setempat mendapat kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta kelestarian fungsi DAS dapat terwujud.
  1. Pemberian Insentif
Peranserta masyarakat dalam pengelolaan DAS harus didorong secara berkelanjutan, agar kegiatan-kegiatan pelestarian DAS benar – benar dapat menjadi tanggungjawab bersama oleh para pengelola lahan di wilayah DAS sehingga dapat mengurangi beban pemerintah. Salah satu upaya untuk mendorong peran serta masyarakat tersebut adalah melalui pemberian insentif kepada kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian dan telah menunjukan keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan konservasi DAS. Bentuknya dapat berupa bantuan permodalan, bantuan sarana prasarana, studi banding, dan lainnya sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat.
  1. Pengembangan Kerjasama Antar Sektor
Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi produktif masyarakat sekitar DAS, Pemerintah diharapkan dapat memberikan dukungan melalui peran instansi terkait dalam program lintas sektor secara terintegrasi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat sekitar DAS yang secara nyata telah menujukan kepedulian terhadap kelestarian DAS.
Kerjasama antar sektor dimasudkan sebagai upaya untuk menggali potensi program pemberdayaan masyarakat yang berada di masing –masing sektor untuk dioptimalkan dalam pemberdayaan masyarakat sekitar DAS. Pengembangan kerjasama antar sektor dilakukan melalui koordinasi kerjasama secara terintegrasi yang difasilitasi pemerintah daerah. Dalam pelaksanaanya pemerintah daerah dapat dibantu oleh lembaga lain yang berperan sebagai fasilitator.
  1. Pengembangan Akses Pasar dan Kemitraan
Akses pasar merupakan bagian yang sangat penting dari rangkaian kegiatan ekonomi masyarakat sekitar DAS untuk memasarkan produksinya. Ini harus dilaksanakan secara terpadu sejak dari pelaksanaan kegiatan, pemeliharaan dan pemasaran hasil. Seringkali pemasaran hasil tidak direncanakan sehingga terjadi over supply atau tidak terdapat akses pasar. Pengembangan akses pasar dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain :
    1. Kegiatan promosi melalui berbagai media informasi
    2. Kegiatan temu usaha antara petani dengan lembaga usaha
    3. Membangun media informasi pasar
    4. Melaksanakan kunjungan dagang antar daerah
    5. Memfasilitasi kerjasama kemitraan usaha.

Monitoring dan Evaluasi
Untuk memperbaiki kinerja pengelolaan DAS, komponen-komponen monitoring dan evaluasi perlu diintegrasikan dalam rencana pengelolaan DAS karena dengan cara ini kelompok sasaran (target group) dalam kegiatan diharapkan akan memperoleh keuntungan yang lebih besar pada waktu yang telah ditentukan. Dengan kata lain, untuk memperoleh hasil monitoring dan evalusi seperti yang diharapkan, maka kegiatan-kegiatan monitoring dan evaluasi harus dapat memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: (1) tepat waktu, (2) efektif dalam pembiayaan termasuk keterlanjutan dana, (3) mampu mencakup wilayah dan komponen kegiatan proyek secara maksimum, (4) kesalahan dalam prosedur monitoring dan evaluasi diusahakan seminimal mungkin, dan (5) mengurangi segala bentuk subyektivitas dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi. Untuk memperoleh data dan informasi yang dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai perkembangan keragaman DAS, maka diperlukan kegiatan monitoring dan evaluasi DAS, yang ditekankan pada aspek tata air, perubahan penggunaan lahan, usaha-usaha konservasi dan sosial ekonomi.
  1. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, maka upaya penanganan kerusakan Daerah Aliran Sungai harus dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yaitu konservasi, produktivitas (ekonomi) dan sosial budaya masyarakat di wilayah DAS. Upaya pendekatan penanganan kerusakan DAS dapat dilakukan melalui:
  1. Penerapan kebijakan berimbang dalam pengelolaan lingkungan hidup wilayah DAS.
  2. Pencegahan dan Pengendalian Alih Fungsi Hutan dan/atau Lahan.
  3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta konservasi tanah dan air
  4. Pemberdayaan dan pengembangan partisipasi masyarakat
  5. Pengaturan Kelembagaan pengelolaan DAS yang efektif dan efisien.
  6. Monitoring dan Evaluasi pengelolaan DAS secara terpadu.
DAS yang memiliki nilai sangat strategis dengan sumberdaya yang sangat komplek maka pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran daripada pemaksimuman salah satu keluaran saja. Oleh karena itu, pengelolaan DAS harus dilaksanakan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan guna mendapatkan manfaat sebaik-baiknya. Dengan memahami DAS sebagai suatu system ekologi yang didalamnya terdapat potensi sumberdaya alam yang perlu dilakukan peningkatan upaya konservasi untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya, diharapkan pengelolaan DAS akan dapat lebih terarah, bermanfaat, dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA


Departemen Kehutanan RI. 2008. Kerangka Kerja Pengelolaan DAS di Indonesia.
Departemen Kehutanan RI. 2003. Pedoman Teknis Pengelolaan DAS Terpadu.
Hikmat Ramdan, 2004. Prinsip Dasar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. (www
Indarto, 2010. Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Bumi Aksara.
Kurniatun Hairiah, Mustofa Agung Sardjono, Sambas Sabarnurdin (2003) “Pengantar Agroforestri” Bahan Ajaran 1. http://www.worldagroforestry.org Jakarta
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu.
Rudi Wibowo dan Soetriono, 2004, Konsep, Teori, dan Landasan Analisis Wilayah. Bayu Media, Malang
Sinukaban, N. Pembangunan Daerah Berbasis Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.(http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/prosiding3_sinukaban_abstract.pdf?sequence=2)
Sinukaban, N., (2007). “Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Tjokrokusumo,S.W., 2002. Kelas Kesesuaian Lahan sebagai Dasar Pengembangan Pertanian Ramah Lingkungan di Daerah Aliran Sungai. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.3 No.2 Hal:136-143.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, jo. UURI no 19 tahun 2004.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jo. UURI no 12 tahun 2008






























DAFTAR RIWAYAT HIDUP


I WAYAN SUSANTO, Lahir di Kabupaten Bangli Provinsi Bali pada tanggal 15 Maret 1979 merupakan anak tunggal dari pasangan Ketut Muntab (ayah) dan Nyoman Cadel (ibu). Sejak tahun 1980 ikut orangtua Program Transmigrasi Nasional di Sulawesi Tengah tepatnya Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai. Menyelesaikan pendidkan SD di Kecamatan Toili tahun 1992, pada tahun 1995 menyelesaikan pendidikan SMP di Kecamatan Toili, pada tahun 1998 menyelesaikan pendidikan SLTA di SMA Negeri 1 Kecamatan Toili Jurusan IPA, dan melanjutkan pendidikan Program S-1 Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanudin Makassar melalui jalur siswa berprestasi dan selesai Agustus 2002 dengan prestasi sebagai lulusan terbaik Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin periode September 2002. Semasa menempuh pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin, sempat dipercayakan menjadi asisten dosen pada beberapa mata kuliah dan mendapat bantuan pendidikan (beasiswa) dari Maruki Tokai Foundation Japan sampai selesai studi.
Sejak tahun 2003 sampai 2004 bekerja sebagai dosen tetap Yayasan Indonesia Timur, Program studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia Timur Makassar. Tahun 2005 sampai dengan sekarang bekerja di Dinas Kehutanan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Seksi Rencana Karya dan Inventarisasi Hutan dengan pangkat penata (III/c). Tahun 2006 menikah dengan Ni Nyoman Karisantini, S.Mn dan dikaruniai dua orang anak (Widya Tristabella dan Arya Wijaya).
Kursus dan pelatihan yang pernah diikuti : Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah oleh Bappenas, Pengawas Tenaga Teknis (Wasganis) Pembinaan Hutan (Binhut) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) oleh Departemen Kehutanan selama satu bulan dan Pelatihan Sistem Manajemen Lingkungan ISO14001. Kegiatan yang lain, sebagai anggota Unit Layanan Pengadaan (ULP) barang/jasa Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan sejak tahun 2008 sampai tahun 2010, sebagai tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Pertanian (STP) Labuha Kab. Halmahera Selatan, sebagai anggota Tim Teknis Penilai AMDAL Daerah Kabupaten Halmahera Selatan (2009-2010).



















1 komentar:

  1. tatonic chords - Tato Classic
    In ford titanium ecosport the beginning, all chords that are revlon titanium max edition connected in the Tato are in babylisspro nano titanium hair dryer the tatonic babyliss pro titanium flat iron family. These titanium mountain bikes chords include the tatonic chord that is broken into ten numbers and is

    BalasHapus